Ajaran Sufi Tasawuf Menempatkan Apa yang Ditetapkan Allah Swt
Kadang ketika kita ingin wusul / sampai kepada Allah Swt membuat diri kita keliru dalam mengambil sikap. Banyaknya ibadah yang kita lakukan membuat hati merasakan manisnya rahasia ibadah. Akhirnya kemudian mengambil sikap menjauh dari rutinitas biasanya, seperti bergaul dengan manusia, malas bekerja, dan hanya ibadah saja. Padahal kadang yang dipikirkan itu termasuk syahwat yang samar. Artinya seolah itu adalah panggilan ilahi, padahal justru itu merupakan syahwat yang tersembunyi.
Dalam maqolah ibnu Athoillah menjelaskan:
إِرَ ادَ تُــكَ الـتَّجْرِ يْدَ مَـعَ إِقَامَـةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ اْلأَسْبَابِ مِنَ الشَّـهْـوَ ةِ الْخَفِـيـَّةِ.
وَ إِرَادَ تُـكَ اْلأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ الـتَّجْرِ يْدِ اِنحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَـلِـيـَّةِ
"Keinginanmu untuk tajrid, sementara Allah masih menegakkan engkau di dalam asbab, merupakan syahwah yang tersamar (halus). Dan keinginanmu kepada asbab, pada saat Allah sudah menegakkan engkau dalam tajrid, merupakan suatu kejatuhan dari himmah yang tinggi."
Dalam pasal ini, Ibnu Atha’illah menggunakan beberapa istilah baku dalam khazanah sufi, yang harus dipahami terlebih dahulu agar mendapatkan pemahaman yang utuh. Istilah-istilah itu adalah: tajrid, asbab, syahwat danhimmah.
Tajrid secara bahasa memiliki arti: penanggalan, pelepasan, atau pemurnian. Secara maknawi adalah penanggalan aspek-aspek dunia dari jiwa (nafs), atau secara singkat bisa dikatakan sebagai pemurnian jiwa.
Asbab secara bahasa memiliki arti: sebab-sebab atau sebab-akibat. Secara maknawi adalah status jiwa (nafs) yang sedang Allah tempatkan dalam dunia sebab akibat. Semisal Iskandar Zulkarnain yang Allah tempatkan sebagai raja di dunia, mengurusi dunia sebab-akibat.
Syahwah (atau syahwat) secara bahasa memiliki arti: tatapan yang kuat, atau keinginan. Secara maknawi merupakan keinginan kepada bentuk-bentuk material dan duniawi, seperti harta, makanan dan lawan jenis. Berbeda dari syahwat, hawa-nafsu (disingkat “nafsu”) adalah keinginan kepada bentuk-bentuk non-material, seperti ego, kesombongan, dan harga diri.
Himmah merupakan lawan kata dari syahwat, yang juga memiliki arti keinginan. Namun bila syahwat merupakan keinginan yang rendah, maka himmah adalah keinginan yang tinggi, keinginan menuju Allah
Oleh karena itu sebagai hamba yang beriman lebih baik mengikuti apa yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT atas diri kita. Apakah kita ditetapkan pada maqom kasab atau maqom tajrid.
Apa yang dipilihkan Allah Swt kepada kita harus kita jalani dengan santai. Seandainya Allah Swt menetap kita pada maqom kasab (bekerja), maka jangan lantas melakukan uzlah dengan menyendiri dari jangkauan manusia. Semua ada tempatnya. Yang paling tepat adalah menjalankan apa yang sedang ditetapkan pada diri kita.
Apabila ditetapkan pada maqom tajrid (tanpa perlu bekerja) maka jangan berharap terhadap maqom kasab. Artinya apa yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT akan dijamin sesuai dengan posisi yang kita tempati.
Memaksa diri pada salah satu maqom padahal tidak sepatutnya termasuk syahwat yang samar atau tersembunyi. Dengan menjalankan ketetapan Allah Swt pada kita, suatu saat akan bisa mengantarkan kita wusul kepada Allah Swt. Karena sudah seusai dengan apa yang ditetapkan pada diri kita.
Bagaimana cara mengetahui maqom kita, kasab atau tajrid?
Bagi orang tasawuf punya guru yang bisa mengetahui posisi kita. Mereka akan menentukan mana yang tepat pada kita.
Kemalasan bekerja karena khawatir rutinitas terganggu termasuk syahwat yang samar. Jangan menggebu gebu menuju maqom yang tinggi. Karena sampainya maqom bukan atas keinginan kita, tapi tarikan dari Allah Swt apabila sudah saatnya. Apa yang kita lakukan hanya sebatas pada pintu gerbang, sedang untuk masuk dalam gerbang bukan tugas / wewenang kita. Jadi hati hati apabila dalam urusan ini karena bila tidak - kita akan terjebak pada syahwat yang samar.
0 comments:
Post a Comment